Langsung ke konten utama

Opini : Apakah overthinking bentuk kepedulian atau justru penghambat?

Saya tidak tahu pasti sejak kapan saya mulai menyadari bahwa saya seorang overthinker. Malam itu, saya duduk termenung di atas kasur, di kamar kos yang ukurannya pas-pasan, sambil menatap kipas angin yang berputar. Sejujurnya saya tidak sedang kelelahan, tapi kepala saya terasa penuh. Akhir-akhir ini saya jadi sering mempertanyakan semuanya. Apakah saya cukup baik? apakah saya salah bicara? apakah saya terlalu diam? apakah nilai saya cukup? apakah saya sedang membuat orang lain tidak nyaman? hal-hal seperti itu, muncul tanpa aba-aba, apalagi alasan yang jelas. Dan lucunya, pertanyaan-pertanyaan itu kadang muncul saat saya baru mau tidur, atau saat sendirian di kamar kos. Sebagian orang menyebut ini overthinking. Lalu saya jadi berpikir, apakah ini bentuk kepedulian saya terhadap situasi sosial? atau justru ini adalah penghambat yang bikin saya stuck di tempat?

Overthinking bukan hal asing di kalangan mahasiswa. Mungkin karena tuntutan akademik, tuntutan pergaulan, dan tuntutan dari diri sendiri juga. Tapi ada satu hal yang saya sadari, overthinking sering menyamar jadi bentuk kepedulian. Kita pikir kita sedang perhatian, padahal kita sedang menjerat diri dalam ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Misalnya, kita terlalu lama menyusun pesan yang ingin dikirim ke dosen. Bukan karena kita perfeksionis, tapi karena takut dinilai tidak sopan. Kita pikir kita sedang peduli, padahal kita sedang takut.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kadang overthinking datang dari niat yang baik. Kita ingin melakukan yang terbaik, tidak ingin mengecewakan orang lain, tidak ingin salah langkah. Tapi kalau dipikir lagi, niat baik pun bisa jadi tidak sehat jika diselimuti ketakutan yang berlebihan. Kita jadi sulit tidur, susah fokus, bahkan jadi menarik diri dari orang lain.

Jadi menurut saya, overthinking bisa jadi bentuk kepedulian, tapi dalam dosis berlebih, ia justru berubah jadi penghambat. Kepedulian yang sehat itu menggerakkan, tapi overthinking malah membekukan. Dan mungkin sudah saatnya kita mulai belajar membedakan keduanya.

Kata orang, overthinking adalah bentuk kepedulian. Katanya, itu tandanya kita nggak sembarangan dalam mengambil keputusan, karena kita benar-benar mempertimbangkan semuanya. Tapi kadang saya bingung, apakah ini benar-benar bentuk peduli, atau sebenarnya justru bentuk lain dari rasa takut? Takut gagal. Takut bikin orang lain kecewa. Takut dibilang salah. Takut nggak sesuai ekspektasi. Pokoknya, takut aja dulu, walaupun semuanya belum tentu terjadi.

Overthinking itu seperti duduk di dalam mobil yang mesinnya nyala, tapi nggak pernah kita jalanin. Kita capek, tapi nggak sampai tujuan. Kita ngeluarin energi, tapi nggak dapat hasil. Capek mental, tapi nggak dapat kejelasan. Akhirnya cuma bikin diri sendiri burn out. Seringkali, bukan dunia luar yang melelahkan, tapi isi kepala sendiri yang bikin letih.

Saya tahu, sebagian dari kita overthink karena kita nggak mau ambil keputusan gegabah. Kita takut nyakitin orang, atau takut nyesel di kemudian hari. Tapi saya juga belajar, bahwa terlalu banyak mikir justru bikin kita diam di tempat. Kita nggak bergerak. Kita stuck. Kita kehilangan momen, kehilangan peluang. Jadi kalau ditanya ke saya sekarang, overthinking itu bentuk kepedulian atau penghambat? Mungkin dua-duanya. Tapi ketika dia mulai menghambat langkahmu, mungkin itu saatnya untuk rem, tarik napas, dan bilang ke diri sendiri, "Oke, cukup mikirnya. Saatnya jalan pelan-pelan."

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang mikirin semuanya, tapi ngejalanin satu per satu, meskipun pelan. Karena hidup bukan soal nggak pernah takut, tapi berani jalan walaupun takut. Dan pelan-pelan, kita akan belajar, pikiran kita berisik, iya, tapi kita bisa memilih mana yang layak didengar.

Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendapat saya setelah nonton film Qodrat 2 : ini bukan sekadar film horor biasa

Minggu, 6 April 2025. Saya dan beberapa teman saya pergi ke salah satu bioskop, di sana kami memutuskan untuk menonton film. Awalnya kami berencana untuk menonton film horor yang berjudul "Pabrik Gula," namun karena keterbatasan usia, kami akhirnya berubah pikiran untuk menonton film lain saja. Di sana kami dibingungkan oleh dua pilihan film yaitu "Qodrat 2" atau "Komang." Karena film "Komang" isinya tentang percintaan, dan tak satupun dari kami ingin menonton film romance pada saat itu, akhirnya kami sepakat untuk menonton film Qodrat 2. Qodrat 2 merupakan film horor religi 2025 yang disutradarai oleh Charles Gozali. Film ini merupakan sekuel dari film Qodrat tahun 2022. Jujur awalnya kami sama sekali tidak berekspektasi tinggi terhadap film ini, karena film ini kami pilih sebagai pilihan terakhir, bukan tujuan awal.  Dibagian awal film ini, ditampilkan di mana tokoh utama yaitu Azizah yang diperankan oleh Acha Septriasa sedang tidur kemudian ia...

Essay : Hustle Culture

Ketika kita scroll TikTok atau Instagram terus nemu video yang isinya orang bangun jam 4 pagi, olahraga, kerja dari pagi sampai malam, minum kopi tanpa henti, terus bilang “inilah cara menuju kesuksesan”? awalnya saya nonton sambil manggut-manggut, semacam termotivasi. Tapi lama-lama kok saya malah ngerasa capek ya? Kayak... apakah hidup harus sesibuk itu biar dianggap produktif? Sebagai mahasiswa, saya cukup sering ngerasa terbebani sama standar-standar produktivitas yang nggak masuk akal. Di grup WhatsApp kelas, misalnya, kalau ada yang update tugas jam 2 pagi, ada yang langsung bilang “wah keren banget, semangat ya”. Padahal, dalam hati saya mikir, “Keren dari mananya? dia ngorbanin tidur loh.” Saya jadi inget momen di mana saya menunda makan atau istirahat hanya untuk mengerjakan tugas. Menunda makan, menunda istirahat, semua demi dianggap ‘anak rajin’. Makin ke sini, istilah “tidur 4 jam demi sukses” atau “kerja keras dulu, healing nanti” tuh udah jadi mantra. Kayak semacam budaya...

Plotnya pelan tapi mematikan—Review jujur Catatan Pembunuhan Sang Novelis

 Buku yang ingin saya bahas kali ini adalah sebuah novel terjemahan Jepang berjudul "Catatan Pembunuhanan Sang Novelis" karya Keigo Higashino. Keigo Higashino adalah salah satu penulis novel misteri terkenal asal Jepang. Lahir pada tahun 1958, Keigo dikenal luas berkat karya-karyanya yang cerdas dan penuh teka-teki, yang sering menggabungkan psikologi dan plot yang rumit. Catatan Pembunuhan Sang Novelis adalah salah satu karyanya yang menampilkan sisi unik dari profesi penulis sekaligus kisah pembunuhan penuh. Saya sangat menyukai novel-novel karya Keigo Higashino, selain novel "Catatan Pembunuhanan Sang Novelis" karya lain Keigo Higashino yang sudah saya baca ada "Toko Kelontong Namiya" dan "Pembunuhan di Nihonbasi." Alasan saya menyukai karya-karya dari Keigo karena beliau menyuguhkan novel yang membuat kita sebagai pembaca harus bertindak seakan detektif yang harus memecahkan jalan keluar dari tokoh dalam ceritanya. Cerita ini menceritakan ten...