Langsung ke konten utama

Essay : Hustle Culture

Ketika kita scroll TikTok atau Instagram terus nemu video yang isinya orang bangun jam 4 pagi, olahraga, kerja dari pagi sampai malam, minum kopi tanpa henti, terus bilang “inilah cara menuju kesuksesan”? awalnya saya nonton sambil manggut-manggut, semacam termotivasi. Tapi lama-lama kok saya malah ngerasa capek ya? Kayak... apakah hidup harus sesibuk itu biar dianggap produktif?

Sebagai mahasiswa, saya cukup sering ngerasa terbebani sama standar-standar produktivitas yang nggak masuk akal. Di grup WhatsApp kelas, misalnya, kalau ada yang update tugas jam 2 pagi, ada yang langsung bilang “wah keren banget, semangat ya”. Padahal, dalam hati saya mikir, “Keren dari mananya? dia ngorbanin tidur loh.”

Saya jadi inget momen di mana saya menunda makan atau istirahat hanya untuk mengerjakan tugas. Menunda makan, menunda istirahat, semua demi dianggap ‘anak rajin’.

Makin ke sini, istilah “tidur 4 jam demi sukses” atau “kerja keras dulu, healing nanti” tuh udah jadi mantra. Kayak semacam budaya yang diam-diam kita telan bulat-bulat. Padahal, banyak yang gak sadar kalau kita sebenarnya udah kelelahan secara fisik dan mental. Burnout, anxiety, insomnia, dan bahkan kehilangan arah hidup karena terlalu fokus ngejar “produktif” versi media sosial.

Saya pribadi pernah ngerasa gak berharga cuma karena satu hari gak ngapa-ngapain. Pernah libur satu hari dari tugas kuliah, dan seharian cuma rebahan. Tapi anehnya, bukannya lega, saya malah dihantui rasa bersalah. “harusnya tadi belajar,” “harusnya tadi nyicil tugas.” gitu terus. Padahal manusia kan butuh istirahat juga.

Yang bikin makin parah, hustle culture ini kadang disamaratakan dengan ‘passion’. Misal, kita capek banget kerja sampai malam, tapi disuruh tetap semangat karena katanya, “Kalau cinta kerjaannya, harusnya gak capek.” Loh? bahkan orang yang mencintai pekerjaannya pun tetap butuh tidur, makan, dan waktu buat dirinya sendiri. Cinta itu bukan berarti harus mengabaikan tubuh sendiri, kan?

Kadang kita lupa, istirahat itu juga bagian dari produktivitas. Bukan berarti kalau kita rehat sebentar, lalu kita gagal. Bukan berarti kalau kita gak update kesibukan di media sosial, lalu hidup kita sia-sia.

Saya bukan bilang kerja keras itu salah. Tapi yang salah adalah kalau kerja keras dijadikan ukuran satu-satunya buat nilai seseorang. Yang salah adalah kalau kita lupa kalau tubuh dan pikiran kita butuh jeda. Sukses itu bukan perlombaan lari cepat, tapi maraton panjang. Dan gak semua orang harus start di waktu yang sama atau pakai cara yang sama.

Jadi, buat kita yang hari ini lagi capek, dan ngerasa gak produktif, gak apa-apa. Gak semua hari harus sibuk. Gak semua mimpi harus dikejar sampai ngos-ngosan. Pelan-pelan juga gak apa-apa, asal kamu bahagia. Dunia gak akan kiamat kalau kamu tidur cukup, makan teratur, dan bilang “enggak” ke sesuatu yang bikin kita lelah terus-menerus.

Dan yang pasti: tidur delapan jam sehari bukan tanda kemalasan. Itu namanya menghargai tubuh dan hidupmu.

Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendapat saya setelah nonton film Qodrat 2 : ini bukan sekadar film horor biasa

Minggu, 6 April 2025. Saya dan beberapa teman saya pergi ke salah satu bioskop, di sana kami memutuskan untuk menonton film. Awalnya kami berencana untuk menonton film horor yang berjudul "Pabrik Gula," namun karena keterbatasan usia, kami akhirnya berubah pikiran untuk menonton film lain saja. Di sana kami dibingungkan oleh dua pilihan film yaitu "Qodrat 2" atau "Komang." Karena film "Komang" isinya tentang percintaan, dan tak satupun dari kami ingin menonton film romance pada saat itu, akhirnya kami sepakat untuk menonton film Qodrat 2. Qodrat 2 merupakan film horor religi 2025 yang disutradarai oleh Charles Gozali. Film ini merupakan sekuel dari film Qodrat tahun 2022. Jujur awalnya kami sama sekali tidak berekspektasi tinggi terhadap film ini, karena film ini kami pilih sebagai pilihan terakhir, bukan tujuan awal.  Dibagian awal film ini, ditampilkan di mana tokoh utama yaitu Azizah yang diperankan oleh Acha Septriasa sedang tidur kemudian ia...

Plotnya pelan tapi mematikan—Review jujur Catatan Pembunuhan Sang Novelis

 Buku yang ingin saya bahas kali ini adalah sebuah novel terjemahan Jepang berjudul "Catatan Pembunuhanan Sang Novelis" karya Keigo Higashino. Keigo Higashino adalah salah satu penulis novel misteri terkenal asal Jepang. Lahir pada tahun 1958, Keigo dikenal luas berkat karya-karyanya yang cerdas dan penuh teka-teki, yang sering menggabungkan psikologi dan plot yang rumit. Catatan Pembunuhan Sang Novelis adalah salah satu karyanya yang menampilkan sisi unik dari profesi penulis sekaligus kisah pembunuhan penuh. Saya sangat menyukai novel-novel karya Keigo Higashino, selain novel "Catatan Pembunuhanan Sang Novelis" karya lain Keigo Higashino yang sudah saya baca ada "Toko Kelontong Namiya" dan "Pembunuhan di Nihonbasi." Alasan saya menyukai karya-karya dari Keigo karena beliau menyuguhkan novel yang membuat kita sebagai pembaca harus bertindak seakan detektif yang harus memecahkan jalan keluar dari tokoh dalam ceritanya. Cerita ini menceritakan ten...